Friday, May 30, 2008

Perselingkuhan Para Istri

Sejak berkeluarga dan tinggal di Bogor aku selalu sempatkan pulang mudik untuk menengok orang tua dan mertuaku di kota Yogyakarta setiap hari raya Idul Fitri. Biasanya aku berangkat lima hari sebelum hari rayanya, agar aku bisa puas merayakan lebaran bersama keluargaku di rumah mertua dan orang tuaku di sana. Aku mudik paling seringnya dengan mobilku sendiri. Saat anak-anakku masih kecil aku menyupir sendiri sampai ke Yogya. Kemudian saat anak-anakku sudah beranjak besar dan remaja, merekalah yang gantian bawa mobil.

Setiap pulang mudik aku paling senang lewat jalur selatan yang tidak begitu ramai dan jarang terjadi kemacetan. Dan yang paling aku suka kala aku melewati desa Redjo Legi menjelang akan masuk kota Purworejo. Di sana tinggal pamanku, yang aku biasa panggil dengan Pak Lik, dia adik sepupu bapakku. Aku sangat akrab dengannya karena anaknya yang setahun lebih tua dari anak sulungku kuliah di kotaku dan indekost di rumahku. Kalau hari libur sekolah dahulu, aku sering diajak pulang ke Redjo Legi cari belut. Depan rumahnya yang sampai kini masih merupakan sawah yang terbentang selalu ada belut untuk kami tangkap dan masak.

Nostalgia semacam itulah yang membuatku selalu ingin mengenang kembali masa kecilku dengan berusaha untuk menyempatkan mampir ke rumah Pak Lik setiap kali aku pulang mudik. Dan ada yang tidak berubah di rumah Pak Lik sejak aku kecil dulu, yaitu rumahnya yang berdinding terbuat dari gedek kulit bambu itu. Hanya saja rumah itu kini lebih luas, karena renovasi yang dilakukan Pak Lik beserta istri, hingga ruangan-ruangan di dalamnya lebih lega. Bagusnya gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi udaranya sangat bagus karena gedeknya bercelah-celah akibat jalinan bambu yang tidak mungkin bisa rapat dengan benar.

Dan saat pagi hari, sinar matahari akan menembus lewat celah-celah gedek itu sehingga panasnya cukup untuk membangunkan kami yang maunya masih bermalas-malas di amben, istilah setempat untuk balai-balai yang digunakan buat tidur dan terbuat dari bambu. Kondisi dan suasana itulah pulalah yang semakin membuat aku kangen untuk selalu mampir di rumah Pak Lik setiap kali aku pulang mudik. Dan walaupun tahun ini usianya sudah lebih dari 50 tahun, tepatnya 54 tahun, 19 tahun di atas umurku dan 25 tahun di atas umur istriku, tetapi Pak Lik tetap tampak gagah dan sehat. Tubuhnya yang hampir 180 senti itu tetap terlihat tegap, kekar, dan berisi. Khas tubuh seorang petani..

Empat tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia karena sakit sehingga kini Pak Lik menjadi duda. Untuk menopang kegiatannya sehari-hari Pak Lik dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk mencuci pakaiannya dan masak ala kadarnya. Apabila sudah tidak ada lagi yang dikerjakan, pelayan kecil itu akan pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Akhirnya Pak Lik menjadi terbiasa hidup sendirian di rumahnya. Anaknya sendiri hanya ada 2 orang, dan masing-masing sudah bekerja di lain kota. Mereka baru pulang biasanya lebaran sekali, sama seperti keluargaku. Sanak saudaranya yang lain, termasuk aku, sering menyarankannya untuk kawin lagi agar ada perempuan yang membuatkan kopi di pagi hari atau menjadi teman saat bertandang ke sanak keluarga, tetapi Pak Lik belum juga menemukan jodohnya yang sesuai dengan keinginan hatinya. Walaupun pendidikannya cukup tinggi, waktu itu sudah menyandang titel BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari dari dulu hingga kini adalah bertani. Dia menggarap sendiri sawahnya yang cukup luas ini.

Tahun ini aku dan istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Anak-anakku punya acara sendiri bersama teman-temannya, dan susah aku pengaruhi untuk ikut mudik menemani kami. Ya, sudah. Aku nggak suka memaksa-maksa anak. Mereka sudah dewasa dan perlu belajar untuk mengambil keputusan sendiri. Menjelang masuk kota Kroya jam sudah menunjukkan pukul 2 siang saat aku merasa agak tidak enak badan. Badanku agak demam dan kepalaku pusing. Sambil pesan agar menyupirnya nggak usah buru-buru, istriku memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang selalu dia bawa saat bepergian jauh. Sesudah aku meminumnya rasa badanku jadi agak lumayan, pusingku sedikit berkurang. Tetapi tetap saja tidak senyaman kalau badan lagi benar-benar sehat. Menjelang memasuki desa Redjo Legi menuju rumah Pak Lik, aku merasakan demamku tak tertahankan lagi. Kupaksakan terus jalan pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore mobil kami memasuki halaman rumah Pak Lik, yang dengan penuh kehangatan menyambut kami.

Ketika dia tahu aku sakit, dia panggil embok-embok di kampungnya yang biasa mijit dan kerokan, suatu adat orang Jawa kalau sakit badannya di kerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan angin dari tubuhnya. Ketika sakitku tidak berkurang juga, akhirnya istriku ditemani Pak Lik membawaku ke dokter yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Celakanya saat mengantarkan kami ke dokter di klinik kampung itu, tiba-tiba hujan turun cukup lebat. Tak ayal tubuh kami bertiga pun menjadi basah. Untungnya kami sudah sampai dekat ke rumah dokter itu, hingga tubuh kami tidak menjadi terlalu basah. Dari dokter itu, aku dikasih obat dan disuruh banyak istirahat dan tidur. Begitu selesai diperiksa, ternyata hujan masih tetap lebat di luar sana. Akhirnya setelah berteduh agak lama di rumah sang dokter, Pak Lik berinisiatif untuk pulang duluan. Dia ingin mengantar kami dengan mobil, walaupun risikonya tubuhnya akan basah kuyup. Walaupun rumah dokter itu tidak begitu jauh, sekitar 5 kiloan, tak urung aku dan istriku sempat merasa keberatan dan merasa tak enak telah merepotkan dirinya. Kami juga khawatir Pak Lik akan sakit karenanya. Tapi Pak Lik yang baik itu tetap memaksa, hingga akhirnya kami mengalah. Aku sempat memperhatikannya pergi menjauh dengan perasaan kagum bercampur rasa tak enak. Perasaan tak enak muncul karena aku merasa banyak merepotkannya padahal kami baru saja tiba. Perasaan kagum muncul kala menyaksikan betapa gagahnya dia dalam balutan kemeja kaus yang basah kuyup karena air hujan. Otot-ototnya yang kekar di tubuhnya yang atletis, tampak tercetak begitu jelas.

Pandanganku beralih ke samping dan kulihat pancaran yang sama tersiar dari sorot mata istriku, walaupun dia segera mengalihkan pandangannya ketika tahu aku melihat ke arahnya. Sekitar 15 menit kemudian, Pak Lik tiba menjemput dengan mobil, dan membawa kami pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, bisa kulihat kalau istriku tidak lepas-lepasnya secara diam-diam memandangi Pak Lik. Aku jadi merasa agak cemburu dan tidak nyaman mengetahui tingkah istriku itu. Sepulang dari dokter, lagi-lagi Pak Lik menolongku lagi. Aku menjadi semakin takjub dan kagum akan kebaikan hatinya. Dia memanggulku, lalu membantuku berbaring di tempat tidur. Setelahnya dia dibantu istriku menyediakan makan malam.

Saat makan malam, ketika kami tanyakan di mana anak-anaknya? Pak Lik dengan tersenyum menjawab bahwa kedua anaknya tidak pulang lebaran kali ini karena ada kesibukannya masing-masing. Sesudah makan malam, istriku menyuruh aku minum obat. Dan seusai aku minum obat, aku langsung diserang kantuk yang luar biasa. Rupanya dokter telah memberikan obat tidur bersamaan obat demamnya padaku. Aku langsung tertidur pulas setelahnya.

Sekitar pukul 11 atau 12 malam, aku tidak begitu pasti, dibangunkan oleh suara berisik amben bambu dibarengi suara rintihan dan desahan halus dari dinding gedek sebelah kamarku. Kantukku masih sangat menahan mataku. Aku meraba-raba istriku tetapi tak kutemukan dia disampingku, mungkin dia sedang buang air. Di rumah Pak Lik kamar-kamar tidurnya memang tidak dilengkapi lampu. Cahaya dalam kamar cukup didapat dari imbas lampu besar di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga yang tembus ke dinding bambu yang banyak celah lubangnya itu. Suara amben yang gaduh beserta desahan-desahan yang mirip suara orang bersebadan, mengganggu kupingku. Suara-suara itu memaksaku mengintip ke celah dinding samping.

Apa yang kemudian aku lihat dari celah-celah itu, langsung memukul diriku. Aku terpana dan menjadi limbung. Kepalaku yang pusing karena demam seketika langsung kambuh kembali. Aku kembali terkapar dengan jantungku yang berdegup cepat dan keras. Benarkah kedua manusia yang sedang asyik bergulat setengah bugil itu adalah Pak Lik dan Dik Narti? Benarkah Dik Narti, istriku, tega mengkhianati aku? Benarkah Pak Lik, yang aku selalu baik padanya, dan dia tadi telah menolongku mengantar ke dokter itu, tega menggauli istriku? Yang mestinya dianggap sama dengan istri ponakannya juga? Apakah kekuranganku Dik Narti? Apakah karena kesibukan kerjaku yang selalu merampas waktuku sehingga kamu merasa berhak untuk menerima keintiman orang lain, meski itu pamanku sendiri? Seperti yang kamu keluhkan selama ini padaku? Atau apakah karena Pak Lik yang sudah 4 tahun menduda, dengan segala kelebihan fisiknya telah menggodamu? Lelaki seperti Pak Lik inikah lelaki idamanmu? Apa dia atau kamukah yang memulai bujuk rayu terlebih dahulu? Apakah kalian melakukannya karena yakin aku tidak bisa bangun karena obat itu? Ah, sejuta pertanyaan yang aku nggak mampu menjawabnya karena semakin menambah pusing kepalaku. Sementara berisik amben itu semakin lama semakin keras dan suara-suara desahan birahi itu semakin tak terkendali.

Bisa kudengar rintihan dan erangan birahi dari pasangan mesum itu terdengar sahut menyahut. Desahan nikmat Dik Narti dan desahan berat Pak Lik semakin jelas terdengar di kupingku. Aku tak mampu bangun karena obat yang aku minum membuatku lemah. Aku bisa jatuh limbung kalau nggak ada yang menuntunku berdiri. Aku hanya bisa mengintip dari celah dinding itu, tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pasangan laknat itu berbuat lebih jauh.

Kulihat Pak Lik sedang asyik mengayun-ayun kontolnya ke dalam memek istriku. Kontol yang ukurannya membuatku takjub itu. Betapa dahsyat ukurannya! Bahkan aku yang sedang sakit ini, bisa-bisanya takjub dengan ukuran senjata rahasianya?! sialan!! Tapi memang kuakui kontol punya pamanku itu pastilah membuat banyak lelaki akan iri. Kontol itu selain gede, juga panjang dan berotot. Kepalanya yang mirip kepala jamur itu, tampak agak sedikit kesulitan menembus bibir memek istriku. Tapi nafsu yang terus menerus membara di dalam diri pasangan celaka itu, tidak membuat kesulitan kontol seukuran pisang tanduk itu menerjang memek istriku. Pak Lik tampak terus berusaha menghujamkan kontolnya, keluar-masuk bersemangat, ke lubang memek istriku sambil menciumi Dik Narti penuh nafsu.

Sementara Dik Narti terus memegangi kepala dan meremas-remas rambut cepak Pak Lik, untuk memastikan bibir-bibir mereka bisa tetap saling berpagut dan melumat. Suara-suara kecupan saat bibir yang satu terlepas dari bibir yang lain terdengar terus beruntun. Sementara ayunan kontol Pak Lik yang semakin lama semakin dalam menembus memek istriku, membuat suara ambennya menjadi lebih berisik lagi.

“Pak Lik, Pak Lik, enaakk…Ooohhh…Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh..
hhmm.. Pak Lik..” terdengar rintihan nikmat istriku.

Duh!! Melihat wajah cantik Dik Narti yang begitu menikmati derita birahinya, membuat kepalaku semakin terasa sakit. Bagaikan dipukul-pukul berbagai macam palu secara bersamaan. Darah yang naik ke kepalaku semakin berkurang, dan pusing yang kurasakan tambah menggila. Kali ini giliran Pak Lik yang kurasakan desahan birahinya.

“Aaacchhh…Yaacchhh…Oohhhss…Ennaakkk….Terusshhh…Sayangghh…” ujarnya.
“Ohhh….aahhh….Yaahhh…Ooohhh…Laagihhh…Paakkkhhh…” erang istriku penuh nikmat.
“Ooohhh…Ddiikk…Mmemmekk…Muuhhss…Assooyss…Bangetsshhh…” puji Pak Lik.
“Aahss…Ohhss…Pakkhh…Paakhhh…Kontolsshh…Paakk…Liikkhh…Jugaahh…
Asssooysshhhh…” lanjut istriku.
“Aaahhh…Ooohh…Jepiitthh…Terrusshh…Kontolsshh…Pakdehhh…Sayanghhh…” erang Pak Lik lagi.
”Aaahhss…Pakdehh…Pakdehh…lebih…cepathhss…Ohhh…Ennakhhhsss…” sambut istriku.

Luar biasa! Aku yang mendengar rintihan birahi keduanya, selain jadi tambah menderita, herannya juga ikut-ikutan terangsang. Kontolku diam-diam ikut berdiri. Aku jadi merutuk habis-habisan dalam hati. Kenapa aku yang sedang sakit ini, melihat istri tercintaku asyik bersebadan dengan pamanku, yang juga sangat kukagumi kebaikan hatinya, bisa-bisanya terangsang? Bahkan kontolku bangun juga? Sialan!! Sialann!!!

Desahan-desahan birahi Pak Lik terdengar terus menerus dan sahut-menyahut. Sebagai lelaki sehat yang telah menduda lebih dari setahun tentu kandungan libidonya sangat menumpuk. Bukan tidak mungkin dialah yang memulai dan melemparkan bujuk rayu pada istriku sementara dia tahu aku nggak akan mudah terbangun karena obat ini. Kembali aku mengintip ke dinding. Kulihat buah dada istriku yang masih montok dan ranum, yang ukurannya bersaing dengan buah melon itu, dengan pentil susunya yang tegak ke atas, sudah terbongkar dari pakaian tank topnya. Hal itu pastilah ulah nakal bibir berkumis Pak Lik yang membetotnya keluar untuk dia lumat-lumat bukitnya, untuk dia sedot-sedot kulitnya, untuk dia susui sepuas hatinya. Aku yakin kedua payudara indah itu pastilah sudah basah oleh jilatan lidah dan ludahnya. Kemudian kulihat ke bagian ketiak istriku saat memegang dan meremasi kepala Pak Lik. Ketiak-ketiak sensual itu pun pasti sudah dirambah oleh lidah dan ludah Pak Lik, yang bergentayangan menebar rangsangan nikmat. Kembali aku ambruk ke ambenku.

Rasa nyut-nyut di kepalaku sangat menyakitkan. Membayangkan betapa panasnya pergulatan birahi antara istri dan pamanku sendiri. Untuk beberapa saat lamanya, tanganku berusaha memijiti kepalaku sendiri, coba untuk mengurangi rasa sakitnya. Tetapi setiap kali aku mendengar suara penuh birahi sepasang manusia mesum itu, aku jadi tergoda untuk kembali mengintip. Kulihat kontol Pak Lik semakin sesak saja keluar masuk menggauli memek Dik Narti. Dia tarik keluar perlahan dengan dibarengi desahan beratnya dan rintihan Dik Narti, kemudian mendorongnya masuk kembali dengan desahan dan rintihan yang terdengar berulang. Dia lakukan itu berulang-ulang, desahan dan rintihan keduanya juga terdengar berulang. Kemudian kulihat tusukan
kontol Pak Lik semakin dipercepat. Mungkin kegatalannya akan puncak orgasme mereka semakin menjadi-jadi.

Tak lama terlihat Pak Lik tidak lagi menggauli sambil melumati bibir Dik Narti. Dia cabut kontolnya, lalu turun dari amben. Dia tarik perlahan kedua kaki istriku hingga keduanya menjuntai ke lantai. Pak Lik lalu mengangkat satu tungkai kaki istriku hingga menyentuh dadanya, dan memegang erat-erat tungkai kaki lainnya. Dengan cara itu rupanya Pak Lik ingin lebih dalam lagi menghujamkan kontolnya ke memek istriku. Langsung saja dia amblaskan kontol dahsyatnya ke memek istriku, semakin lama semakin cepat, kasar, dan liar. Akibatnya kenikmatan yang tak terperikan melanda istriku. Dia terlihat meremas-remas sendiri susunya sambil kepalanya yang rambutnya telah amburadul acak-acakan terus bergoyang ke kanan dan ke kiri menahan siksaan nikmat yang luar biasa.

Mereka sudah sangat lupa diri. Mereka sudah tidak lagi mengingat keberadaanku, suami dan keponakan mereka, yang kini berada di kamar sebelah. Tengah tergeletak sakit yang rasanya hampir-hampir akan mati. Kenikmatan nafsu birahi telah menghempaskan mereka ke sifat kebinatangan yang tak mengenal lagi ada rasa iba, martabat, hormat, moral, dan sebagainya. Mereka sudah hangus terbakar dalam kobaran api nafsu birahi, yang dikompori oleh setan-setan gentayangan di dalam diri mereka sendiri. Aku terbatuk-batuk dan mual. Pusing di kepalaku tambah hebat. Dengan suara yang sengaja kukeraskan, aku mengeluarkan dahakku yang kemudian disusul dengan muntah-muntah ke ember yang sudah disediakan. Aku berharap dengan tindakanku itu segalanya menjadi berhenti. Mereka pasti akan bergegas menolongku. Tetapi suara amben itu justru semakin cepat dan kencang. Sehingga kini ada dua sumber suara berisik di dalam rumah ini. Suara orang sakit dan memerlukan pertolongan segera di kamar sebelah sini dan suara erotis sepasang manusia yang sedang berkejar-kejaran dengan nafsu setan di kamar sebelah sana.

Kembali aku mengintip. Ternyata keduanya sudah berganti posisi kini. Pak Lik sudah tidak lagi menggauli istriku dari pinggir amben. Dia asyik menggauli Dik Narti dengan memangkunya di pinggiran amben. Posisi inilah yang membuat suara amben terdengar semakin berisik. Kedua kaki Pak Lik terlihat berjuntai agak melebar. Kedua kaki istriku yang mulus itu tampak melingkari pinggang ramping Pak Lik. Pak Lik sendiri tampak memegangi erat-erat pinggang Dik Narti yang sudah licin karena keringatnya, hingga otot-otot lengannya bertonjolan. Sementara tangan Dik Narti juga tak kalah eratnya berpegangan pada bahu bidang dan leher kokoh Pak Lik sambil terus asyik naik turun. Keduanya asyik naik turun, semakin lama semakin cepat dan liar. Tatapan kosong penuh sarat nikmat tergambar jelas di wajah pasangan bejad itu.

Keduanya pun sudah bugil kini. Tiada lagi kaus dalam yang menutupi tubuh tegap dan atletisnya Pak Lik, juga celana dalam beserta tank topnya yang tadi masih menutupi sebagian tubuh Dik Narti. Keringat yang mengalir deras, membuat tubuh keduanya terlihat licin bagaikan ada minyaknya. Keringat itu memperjelas setiap jengkal otot kekar yang bersembulan di tubuh Pak Lik, dan setiap titik erotis di tubuh mulus nan terawat Dik Narti. Dalam posisi ini, kulihat Pak Lik dan Dik Narti bisa lebih bebas menjamah organ-organ seksual partnernya sesuka hati. Pak Lik dan Dik Narti terlihat asyik saling menyusui. Tak heran warna-warna kemerahan, bekas rambahan mulut dan tangan istriku, terlihat jelas bertebaran di sekujur tubuh Pak Lik. Mulai dari lehernya yang kokoh, bahunya yang bidang, dada bidangnya, puting susunya yang besar, hingga di perutnya yang bersegi enam. Hal yang sama juga terdapat pada Dik Narti. Payudara, leher, perut, pangkal paha, dan bahu istriku, penuh tanda-tanda merah. Hasil kerjaan nakal tangan dan mulut Pak Lik. Sekarang mereka terlihat jauh lebih seksi dan…serasi! Sesuatu yang aku benci sekali mengakuinya!

Aku kembali menghempaskan diri ke ambenku. Rasa sakit di kepalaku kini ditambah rasa sakit hatiku karena dikhianati mereka. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Kucoba menarik perhatian mereka sambil berguling-gulingan di amben. Tidak puas dengan itu, aku terus berusaha lebih keras lagi mengeluarkan suara dahakku. Apalagi tak lama kemudian aku muntah-muntah beneran, sehingga ember yang sudah disediakan itu, 1/4nya sudah penuh dengan dahak bercampur muntahku. Tapi seperti tadi, caraku itu pun tidak berhasil. Keduanya masih asyik bercinta bahkan tambah liar beradu kelamin. Erangan birahi mereka terdengar semakin kencang bersahut-sahutan, beriringan dengan suara amben yang tidak kalah berisiknya. Aku tahu mereka dalam keadaan tanggung. Puncak nikmat mereka sudah dekat dan nafsu birahi untuk memuntahkan segalanya sudah di berada diubun-ubun. Mereka pasti berpikir, biarkan saja aku menunggu.

Kembali aku mengintip. Pasangan mesum itu memang luar biasa! Tampaknya kerinduan akan nafsu birahi dan puncak orgasme membuat daya tahan dan cadangan energi mereka meningkat berlipat-lipat banyaknya. Kali ini kulihat istriku dan Pak Lik bercinta dengan gaya anjing. Lebih gilanya lagi, keduanya bercinta dengan posisi agak dekat ke arah dinding tempatku mengintip, sehingga aku bisa melihat jelas ekspresi nikmat di wajah mereka dengan senyuman tak berkeputusan dan bola mata yang hanya menyisakan bagian putihnya saja. Suara erangan birahi kini terdengar lebih lirih, tapi tetap saja terdengar menyiksa di telingaku. Pak Lik terus menghajar memek istriku dengan gerakan yang stabil, sambil tak lupa meremas payudara istriku yang bergoyang-goyang liar. Sesekali dia menghela rambut istriku, bagaikan dia menghela seekor kuda. Kedua tangan kekarnya bergantian meremasi payudara istriku dan memainkan anus serta kelentit istriku.

Tidak puas dengan bercinta dengan gaya anjing, kulihat keduanya berancang-ancang merubah kembali posisinya. Ditariknya kontolnya yang dahsyat itu dari memek istriku, lalu dengan suara parau sarat birahi Pak Lik meminta istriku mengkulum kontolnya. Dik Narti segera mengambil posisi. Dia turun dari ranjang menyusul Pak Lik, dengan setengah berlutut lalu menyambar kontol Pak Lik yang disodorkan kepadanya. Lalu dengan rakusnya, istriku itu mulai melahap dan mengkulum kontol dahsyatnya.

Tak ada sejengkal pun bagian kontol Pak Lik yang tidak dilumati oleh bibir sensual istriku, termasuk bola-bola keramatnya. Pak Lik terus asyik mengerang-erang keenakan, berkacak pinggang, sesekali dia membungkuk memainkan kedua payudara istriku yang montok itu bergantian. Kulihat sesekali Pak Lik mendongak ke atas, sambil meremasi rambut dan kepala istriku yang pipinya tampak menggembung, yang sibuk melahap kontol dahsyatnya. Cukup lama Dik Narti mengkulum kontol Pak Lik, sambil asyik memainkan pentil susu Pak Lik, dan bola-bola kemaluan miliknya. Hingga tak lama kemudian, giliran Pak Lik memintanya berbaring kembali ke atas amben. Dimintanya istriku untuk mengangkang. Terlihatlah lubang birahi istriku, yang tadi telah dientotnya habis-habisan.

Langsung saja Pak Lik menyungsep di selangkangan istriku. Rupanya kali ini gilirannya untuk menikmati milik istriku. Dia jilati habis-habisan bibir memek istriku. Dia sedot dan kulum-kulum klitorisnya. Dia hisap dan julur-julurkan lidahnya, bergantian dengan kedua tangannya, dalam menjelajahi memek istriku dan daerah sekitar kemaluannya. Dik Narti tampak sangat gelisah dalam posisi kali ini. Dia menggeliat-geliatkan pinggul dan pantatnya bak cacing kepanasan. Terdengar erangan dan desahan tak berkeputusan dari mulutnya, merasakan nikmatnya dijilati kemaluan. Dia remas-remas rambut dan kepala Pak Lik, dan menjepit kepalanya supaya lidah lelaki tua itu lebih dalam lagi merujuki memeknya. Cukup lama Pak Lik menikmati kemaluan istriku dengan tangan dan bibirnya. Hingga begitu dirasa sudah cukup, Pak Lik segera menyudahi aksinya.
Kali ini terdengar permintaan Dik Narti, ingin dientot dengan cara dipangku seperti tadi. Pak Lik naik ke atas amben kembali lalu segera berbaring telentang. Dik Narti segera menempatkan dirinya ke atas selangkangan pamanku. Dengan tangannya yang lembut dan posisi berlutut, dibantu tangan kekar Pak Lik, diarahkannya kepala kontol yang bagaikan jamur besar itu ke lubang memek istriku. Desah nikmat kembali tersiar dari mulut keduanya, saat kepala kontol itu mendorong masuk sebagian bibir memek istriku amblas ke dalam.

Tak lama masuk sudah keseluruhan batang kontol Pak Lik tertelan memek Dik Narti. Lalu mulailah mereka melakukan pemompaan. Semakin lama semakin cepat. Semakin liar. Semakin kasar. Dan semakin membuat ambennya tambah berisik. Sambil asyik naik turun, istriku asyik memainkan puting-putingnya sendiri. Sesekali dia meremas-remas dan mencakari otot-otot kekar di dada dan perut Pak Lik. Pak Lik sendiri asyik meremas-remas pantat istriku yang bergerak liar menjepit dan menghisap-hisap kontolnya yang terbenam dalam memek Dik Narti. Terkadang Pak Lik bangkit untuk menyusui payudara istriku bergantian, sambil asyik meremas-remas payudaranya, juga secara bergantian.

Mereka terus asyik bercinta hingga tak lama kemudian… ketika puncak mereka akhirnya hadir suara-suara di rumah ini benar-benar gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti dengan suara seperti babi yang disembelih bercampur dengan suara Pak Lik bersama istriku berteriak histeris mencapai puncak orgasmenya, entah untuk yang ke berapa kalinya, disusul oleh ejakulasi mereka dalam waktu hampir bersamaan. Untuk sesaat suara amben masih terdengar berisik untuk kemudian reda dan sunyi, berganti dengan suara-suara terengah-engah, suara bibir saling berkecupan, dan suara-suara halus saling memuji dan memuja. Sementara di sini aku masih mengeluarkan suara dahak bercampur suara batukku disertai dengan rasa mau muntah yang keluar dari tenggorokanku.

Akhirnya istriku muncul di pintu. Dipegangnya kepalaku ”Ah, kok semakin panas Mas? obatnya diminum lagi ya?” ujarnya. Kemudian dengan tangannya yang kuat, dia meraih kepalaku dan memaksakan obat cair pemberian dokter ke mulutku. Aku terlampau lemah untuk menolaknya. Saat jari-jarinya memencet hidungku, aku agak kesulitan bernafas, memaksaku menelan seluruh obat yang telah dituangkannya ke rongga mulutku. Kemudian disuruhnya aku meminum air hangat. Sebelum air itu habis kuteguk, aku sudah kembali jatuh tertidur pulas. Dan aku nggak punya alibi sedikit pun atas apa yang selanjutnya terjadi di rumah ini hingga 6 jam kemudian saat aku terbangun.

Jam 9 pagi esoknya aku terbangun lemah. Pertama-tama yang kulihat adalah dinding tempat aku mengintai selingkuh istriku dengan Pak Lik. Aku marah sekali pada dinding itu. Kenapa begitu banyak lubangnya sehingga aku bisa mengintip. Aku juga marah kepada diriku sendiri. Kenapa aku yang sakit ini masih ingin mengintip ke dinding itu? dan malah ikutan terangsang kala menyaksikan istriku menanggung nikmat saat kontol Pak Lik menggojlok kemaluannya? Tapi saat aku ingin teriak karena amarah yang tiba-tiba meluap mengingat kejadian semalam, istriku muncul di ambang pintu. Pandangan matanya kurasakan sangat lembut. Dia mendekat dan duduk di ambenku. Dia ganti kompres di kepalaku dengan kedua tangannya yang kuat tapi lembut sambil berkata,

“Mas Roso (begitu dia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas badannya tinggi. Aku jadi takut dan khawatir. Pak Lik bilang supaya aku mengambil air dan kain untuk mengkompres kepala Mas Roso” jelasnya. Saat mendengar mulutnya menyebut “Pak Lik” yang aku ingat betul intonasi dan nada pengucapannya sama persis dengan yang aku dengar saat dia meracau penuh nikmat ditindih Pak Lik tadi malam, seketika darahku mendidih dan tanganku langsung mengepal. Aku lalu berusaha mencekal blusnya dan ingin mencekik lehernya.

Tetapi senyum teduhnya kembali hadir di bibirnya, “Hah, apa lagi Mas, apa lagi yang dirasakan sayang?” ucapnya lembut dengan sorot mata yang menatapku penuh cinta dan raut muka yang tampak bagaikan bayi yang baru lahir, suci bersih! Langsung didih darahku surut. Aku tak mampu melawan kelembutan dan senyumnya itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik sekarang. Dia bilang Pak Lik ke sawah. Hari ini giliran dia untuk membuka pematang sawahnya agar air bisa mengalir lancar. Dia juga bilang agar aku banyak istirahat saja dulu. Dia sudah menelpon mertuaku di Yogya dari kantor telepon dekat kantor lurah, mengabarkan bahwa aku sedang sakit dan akan istirahat dulu selama beberapa waktu di Redjo Legi. Kemudian Dik Narti beranjak dan kembali lagi dengan sepiring bubur sum-sum, lalu aku disuapinya.

Aku jadi berpikir-pikir apa yang sesungguhnya terjadi tadi malam? Apakah panas badanku yang sedemikian rupa telah membawaku ke alam mimpi sampai aku mengigau sepanjang malam sebagaimana kata istriku? Ataukah perselingkuhan Pak Lik dengan istriku itu memang benar-benar sebuah kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali mencekoki aku dengan obatnya. Kembali aku tertidur. Sebelum aku lelap benar, istriku dengan penuh kasih sayang memelukku. Dia mengelus-elus mesra kepalaku sambil mendekatkannya ke dadanya. Pada saat itulah aku merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke hidungku. Aroma yang aku kenal dengan baik. Aroma itu adalah aroma ludah dan sperma lelaki yang telah mengering dari buah dada dan bagian tubuh istriku yang lain. Tetapi obat tidurku tak memberi kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku kembali pulas tertidur.

Selanjutnya selama 5 hari ke depan, aku beristirahat di Redjo Legi hingga penyakitku sembuh. Ternyata menurut dokter, demamku agak parah sehingga aku harus beristirahat lebih dari 3 hari di rumah Pak Lik. Namun tidak seperti malam itu, aku tidak bisa lagi terjaga malam-malamnya, karena aku selalu tertidur pulas hingga pagi harinya. Sampai kini, 6 bulan berlalu sesudah mudikku waktu itu, aku tetap tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah adegan mesum antara istriku dengan pamanku sendiri benar-benar terjadi, ataukah hanya halusinasiku saja? Kalau memang hanya halusinasi, kenapa aku samar-samar bisa melihat raut muka kehilangan dari wajah istriku dan Pak Lik, kala kami akan berpamitan dari Redjo Legi?

Namun aku tidak mempunyai alibi apa pun untuk menanyakan keingintahuanku pada istriku. Aku terlalu takut kehilangan dirinya. Yang mungkin bisa dan perlu aku lakukan hanyalah menjauhi Redjo Legi sedapat mungkin. Berarti aku harus memilih jalur utara yang padat saat pulang mudik yang akan datang dan seterusnya. Hanya saja aku berfirasat, jika dugaanku benar Dik Narti dan Pak Lik berselingkuh, mungkin perselingkuhan itu tidak akan berakhir sampai saat itu saja, dan akan terus berlangsung entah sampai kapan…

1 comment:

Anonymous said...

Diknarti : mbakyuss